
Reportase – Keputusan Bupati Kabupaten Halmahera Selatan yang melantik empat kepala desa baru-baru ini menuai polemik. Praktisi hukum hingga kalangan akademisi mempertanyakan legalitas dan prosedur pengambilan keputusan tersebut, Minggu 28/09/2025.
Polemik ini bahkan telah sampai ke meja DPRD Halmahera Selatan untuk dimintakan penilaian.
Berdasarkan kerangka hukum, kewenangan bupati dalam menerbitkan Surat Keputusan (SK) diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, serta lebih spesifik dalam Permendagri Nomor 66 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa.
Mengacu pada regulasi tersebut, keputusan bupati merupakan produk tata usaha negara (TUN) yang memiliki asas praduga keabsahan (praesumptio iustae causa).
Artinya, SK pelantikan empat kepala desa tetap sah dan berlaku sepanjang tidak ada pembatalan resmi melalui mekanisme hukum yang sah.
Dalam konteks hukum acara peradilan TUN, pelaksanaan putusan tidak bersifat eksekutorial mutlak sebagaimana dalam perkara pidana atau perdata. Pelaksanaan putusan TUN bergantung pada kepatuhan sukarela pejabat yang bersangkutan.
Hakim PTUN tidak memiliki kewenangan untuk mencabut atau mengubah keputusan TUN, sehingga implementasi putusan sepenuhnya menunggu kesadaran hukum dari pejabat tergugat.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) JAVHA menilai pihak yang merasa dirugikan sebaiknya menggunakan jalur hukum ketimbang hanya melontarkan narasi.
“Kalau keberatan terhadap keputusan Bupati terkait pelantikan empat kepala desa, silakan diuji kembali. Jangan hanya ber-narasi,” Tegas LBH JAVHA.
Redaksi